Kamis, 12 Februari 2015

lebah madu

Berikut Fakta Unik si Penghasil Madu (Bagian 2)

Lebah memiliki banyak manfaat bagi manusia. Iajuga menjadi faktor penting dalam keberlangsungan tanaman. Foto: Wikipedia
Lebah memiliki banyak manfaat bagi manusia. Iajuga menjadi faktor penting dalam keberlangsungan tanaman. Foto: Wikipedia
“Lebah adalah penyerbuk terbaik di alam,” kata Stanislaus Ghaji, peneliti dan instruktur penangkar lebah trigona, Universitas Hasanuddin Makassar.
Mengapa demikian? Saat musim bunga, katanya, ada ribuan kali kunjungan lapangan ke bunga. Lebah yang mencelupkan badan di tepung sari, memindahkan ke kedua kaki belakang, lalu terbang dan berpindah lagi ke bunga lain. Tepung sari ini, menyatu dan bercampur dengan bunga lain dan menciptakan penyerbukan.
Bunga-bunga yang melalui proses penyerbukan ini memiliki kualitas baik untuk meciptakan buah. Ketika jadi buah, mahluk lain seperti burung memakan dan membuang kotoran di beberapa tempat. Tersebarlah benih secara alami. “Ingat, burung hanya penyebar, tanpa penyerbukan, kualitas buah akan lemah. Lebah yang melakukan dengan sempurna,” katanya.
Apa yang terjadi bila lebah tak ada? Regenerasi tanaman, kata Stanislaus, akan mengalami stagnan. Tanaman-tanaman baru yang dibantu penyerbukan oleh burung pengisap madu atau serangga lain bahkan angin, tidak seunggul penyerbukan lebah. Meskipun tanaman baru tetap tumbuh tetapi daya saing kurang dan proses lama.
Di alam, salah satu penyerbuk terbaik adalah kupu-kupu. Namun, kupu-kupu hanya memilih jenis bunga dan tanaman yang disukai. “Lebah tidak memilih. Ia menghisap semua jenis bunga di tanaman. Dari bunga dengan kelopak besar hingga kelopak paling kecil.”
Di hutan Sulawesi, ada tiga jenis lebah lokal. Yakni Apis trigonaApis cerana, danApis dorsataTrigona ukuran lebih kecil, memiliki radius jelajah antara 500–700 meter .
Stanislaus menunjukkan bunga dari tanaman puspa, salah satu pakan favorit trigona. Foto: Eko Rusdianto
Stanislaus menunjukkan bunga dari tanaman puspa, salah satu pakan favorit trigona. Foto: Eko Rusdianto
Dorsata ditemukan diketinggian 400–700 dpl dan cerana antara 700–1000 dpl, saat musim bunga mampu menghasilkan hingga 20 kg madu. Untuk menghasilkan satu kilogram madu, lebah pekerja lapangan dapat menempuh perjalanan hingga radius 3.600. km. Ia memerlukan kunjungan lapangan antara 1.200 – 1.500 kali. “Coba bayangkan ada berapa banyak bunga yang penyerbukan di bantu lebah. Ratusan ribu bukan?” kata Stanislaus.
Sang ratu dan ritual kawin
Setiap koloni lebah dipimpin satu ratu. Ratu secara fisik memiliki tubuh proposional dan memiliki alat pengembangbiakan baik. Usia ratu bisa sampai tahun. Usia subur hingga lima tahun, enam sampai tujuh tahun mulai menurun. Lebah lain maksimal berusia enam minggu.
Setiap koloni lebah, meskipun sarang berdekatan, tidak boleh bercampur. Lebah tersesat dan salah masuk koloni akan dibunuh karena dianggap penyusup.
Bagaimana saling mengenal dengan anggota koloni masing-masing, padahal bentuk sama? Ternyata, masing-masing ratu memiliki bau khas (veromon). “Bau inilah yang menjadi penanda dan arah pulang lebah,” kata Peneliti Lebah Fakultas Kehutanan Universitas Hasanuddin, Mappatoba Sila.
Dalam koloni lebah, ratu hanya kawin sekali seumur hidup. Setelah itu, sepanjang waktu hanya bertugas bertelur. Ratu yang produktif bertelur 1.000–2.000 butir per hari. Ketika produksi telur ratu turun, lebah pekerja membuat quensel (rumah ratu) baru dan menghasilkan lebah pejantan.
Ketika pejantan dewasa dan calon ratu baru siap, ratu lama dibunuh. Ratu baru menunggu sekitar  satu minggu untuk siap dibuahi. Saat tiba, ratu perawan keuar sarang dan terbang menjelah hingga radius 500 meter persegi.
Saat itu, ribuan pejantan berlomba mendekati ratu perawan. Saat pejantan berhasil mengawini ratu, mereka akan saling terkait. Terjatuh, hingga tersangkut pohon, ranting, daun atau terhempas ke tanah. Saat itu, alat reproduksi pejantan melengket di kelamin ratu.
Ratu terbang lagi. Pejantan yang mengawini ratu mati. Pejantan kedua memiliki tugas lebih rumit. Sebelum mengawini ratu, harus melepaskan alat kelamin pejantan. Dalam sekali ritual kawin, biasa hingga 11 pejantan. “Saat itu, kantong telur ratu penuh kembali ke sarang. Lalu bertelur.”
Untuk menjadi lebah dewasa, dari telur, menjadi larva, nimfa, sampai imago memerlukan 21 hari. Lebah muda sampai 10 hari belum bisa keluar sarang dan bertugas membantu merawat sarang. Jika berusia dua minggu akan menjadi lebah pekerja lapangan.  “Karena itulah ratu bertelur sebanyak-banyaknya. Setiap hari akan ada lebah mati.” (Habis)
Sarang lebah trigona yang telah ditinggalkan dan sudah rusak. Foto: Eko Rusdianto
Sarang lebah trigona yang telah ditinggalkan dan sudah rusak. Foto: Eko Rusdianto

Para Pemburu dan Penghasil Madu (Bagian 1)

Sarang lebah trigona. Foto: Eko Rusdianto
Sarang lebah trigona. Foto: Eko Rusdianto
Larva-larva lebah, mengambang di baskom besar. Bercampur bersama potongan sayuran, dan sagu yang bulat. Diaduk sebentar  meratakan bumbu. Asap mengepul. Ini kapurung–penganan khas  Luwu, siap dinikmati.
Kapurung dengan lauk utama telur lebah, tak boleh dibiarkan dingin. Berbeda dengan kapurung ayam, atau ikan. Kapurung lebah dingin  membuat lemak naik,  menutupi permukaan. Langit-langit mulut, bibir dan lidah akan penuh lemak.
Tak hanya kapurung, telur-telur lebah  biasa juga jadi pepes. Dibungkus dengan daun pisang lalu dipanggang. Bagi sebagian besar orang Luwu, kapurung dan pepes lebah adalah santapan yang ditunggu-tunggu. Saat ini, mencari lebah hutan sangat sulit, harus memasuki hutan, menapak gunung-gunung tinggi, bahkan menjajal tepi jurang.
Biang kerok
Dulu, saya beberapa kali mengikuti perburuan lebah. Biasa malam hari. Seorang pawang lebah akan ritual kecil. Memegang batang pohon tempat lebah bersarang, dan mengusap-usap. Kadang badan dilumuri minyak tanah.
Pawang lebah itu memanjat pohon. Membawa obor besar dari gulungan daun kelapa kering, kain atau karung goni. Saat mulai dekat  sarang, pawang akan menyalakan obor. Membakar sarang lebah.
Kelompok lain yang menunggu di bawah pohon biasa ikut menyalakan api, membuat asap pekat agar lebah cepat terbang. Tak butuh waktu lama, dengan api yang membara dari obor, lebah mudah terpanggang dan menghilang. Atau sebagian melarikan diri.
Sarang lebah yang berwarna kecoklatan menjadi kehitaman. Pawang menyanyat rumah lebah dengan parang tajam. Memilah-milah menjadi beberapa potongan lalu dimasukkan ke ember.
Di bawah pohon kru lain, membawa menjauh. Bunyi dengung lebah dengan sayap terpanggang begitu memilukan. Mengelinjang dan berusaha terbang. Sarang-sarang lebah  diteliti. Kamar tempat madu  diperas dengan tangan. Tempat kotoran ( persediaan makanan dari tepung sari tanaman) dibuang. Telur (larva) disisihkan jadi makanan.
Siang hari, ratusan bahkan ribuan lebah tergeletak. Hangus.
Ramah lebah
Berbeda dengan perburuan madu di hutan pendidikan Universitas Hasanuddin, Desa Bengo-bengo, Kecamatan Cenrana, Kabupaten Maros. Peneliti Lebah Fakultas Kehutanan Universitas Hasanuddin, Mappatoba Sila,  bersama beberapa rekan mengembangkan penangkaran lebah Apis trigona dengan ramah.
Saya mengunjungi penangkaran itu pekan lalu. Rumah-rumah buatan dari kotak-kotak kayu dijejer  17 buah. Pada bagian atas diberi topi petani,  untuk melindungi dari sengatan matahari langsung.
Ketika atas kotak dibuka, beberapa lebah trigona  berukuran kecil seperti semut merah, beterbangan. Hinggap di rambut dan lengket di kulit.
“Trigona suka dengan warna hitam dan takut air,” kata Stanislaus Ghaji, peneliti dan instruktur penangkar lebah trigona, Universitas Hasanuddin Makassar. Sebelum membuka kotak , katanya,  mesti membasuh topi dan beberapa bagian tubuh dengan air.
Penangkaran lebah Trigona. Foto: Eko Rusdianto
Penangkaran lebah Trigona. Foto: Eko Rusdianto
Dia membuka beberapa kotak dan mencari struktur sarang yang masih terbangun. “Coba lihat. Yang berpendar-pendar seperti air dan berkilau itu bakal madu. Yang kuning telur dan bagian kuning lain simpanan makanan. Mereka membangun dan membuat bilik dengan teratur.”
Memegang sarang lebah trigona seperti lem yang mulai padat. Kenyal. Berwarna coklat muda. Menurut Stanislaus, bahan lengket itulah yang dikenal denganpropolis. Bahan ini dikumpulkan dari getah bunga, buah atau pohon. Lebah membawa dengan menempelkan di kaki dan memintal secara cermat.
Dimana tempat tempat kotoran lebah? Stanislaus membuka kotak lain dan menemukan sarang yang ditinggalkan. Warna mulai coklat kehitaman. “Ini adalah simpanan makanan. Simpanan makanan ini terbuat dari tumpukan tepung sari yang menempel di lebah,” katanya.
Padahal, lebah tak pernah membuang kotoran dalam sarang. “Ini mahluk yang benar-benar bersih.”
Trigona adalah jenis lebah madu yang dikenal luas namun peternak  kurang tertarik, karena produksi kecil. Padahal, khasiat buat bahan medis sangat baik.
Trigona menghasilkan dua produk unggul, yakni prupolis, sebagai  bahan anti oksidan dan antibiotik. Bipret (tepung sari atau beebread) untuk simpanan makanan–bahan formulasi produk medis, sebagai ramuan kecantikan dan campuran makanan-minuman.
Untuk itu, melalui teknik penangkaran ramah, madu lebah tak semua diambil. “Di Vietnam, mereka sudah melakukan, bahkan memberikan pemahaman pada pemburu lokal menyisakan madu. Aturannya, hanya boleh 2/3 madu. Jadi lebah dengan sisa makanan masih bertahan lama. Bahkan setiap mengambil madu, lebah tak boleh mati,” kata Mappatoba.
Di Sulawesi Selatan, penangkaran lebah trigona sudah sejak pertengahan 2000-an di Masamba, Luwu Utara. Beberapa peternak lebah trigona, menjaga sumber pakan dan melestarikan, seperti pinang, tanaman palem, kelapa, puspa, rambutan, mangga dan hampir semua tumbuhan berbunga.
“Saat ini kita baru mampu menernak trigona untuk lebah lokal. Lebah lain teknologi dan kesiapan sumber daya belum memadai. Kalau di Jawa puluhan tahun lalu ada lebah Apis millevera sudah diternak. Ini lebah impor dari New Zealand.”
Madu hutan di Karaenta. Foto: Eko Rusdianto
Madu hutan di Karaenta. Foto: Eko Rusdianto
Persiapan paceklik
Saat musim bunga (di luar penghujan) yang berlangsung selama dua sampai tiga bulan, lebah memproduksi madu sebanyak-banyaknya. Madu ini, diperoleh dari proses panjang, melalui nektar bunga.
Mappatoba, menguraikan proses menghasilkan madu. Pada musim bunga, bersamaan muncul matahari lebah pemandu yang berjumlah ratusan keluar sarang. Lebah ini survei lapangan, mengitari ratusan kilometer mencari letak bunga melimpah. Ketika lebah pemandu menemukan titik bunga yang tepat, mereka kembali ke sarang.
Lebah pemandu, berkerumun di depan sarang mengikuti azimut matahari. Melakukan tarian lebah (dancing bee) dan mendengung keras. Lebah pekerja lapangan yang berjumlah ribuan ekor memperhatikan. “Dari tarian inilah, lebah pekerja lapangan akan tahu, apakah sumber pakan bunga jauh atau dekat.”
Lebah pekerja lapangan menuju titik pakan bunga. Mereka hinggap, mencelupkan badan ke tepung sari dan menjorokkan kepala menuju putik sari untuk mengisap nektar.
Saat menghisap nektar, lebah membuka mulut dan menjulurkan alat hisap probosis – seperti belalai gajah namun ukuran kecil. Nektar dibawa menuju kantong madu (honey sack) di bawah bagian dada. Ketika kantong penuh, lebah menuju sarang.
Di sarang, lebah pekerja lapangan membuka belalai dan lebah pekerja rumah tangga menghisap. Nektar ini dipindahkan dari satu sel ke sel lain, untuk mengurangi kadar air dari nektar.
Setelah kadar air nektar berkurang dan dianggap pas, lebah akan menutup dengan lapisan lilin. “Proses itu membutuhkan waktu tiga minggu. Inilah yang dikenal dengan madu matang.”
Nektar adalah cairan manis dari bunga. Pada waktu tertentu, bila tak ada serangga, nektar akan menguap. Pada sore hari muncul kembali. Kandungan nektar setiap bunga hanya beberapa tetes.
Lebah menghasilkan madu sebagai persiapan makanan saat paceklik. Madu ini menjadi bahan makanan pokok untuk ratu lebah agar terus hidup dan bertelur untuk menjada keberlangsungan koloni . “Jika pemburu lebah mengambil madu dengan membakar, lebah dan larva akan mati. Bisa dipastikan satu koloni   punah,” kata Mappatoba.
Dalam setiap koloni, lebah antara 2.000 hingga 3.000 dengan satu ratu, ratusan raja (pejantan), ribuan pekerja lapangan, ribuan pekerja rumah tangga, dan penjaga sarang. (Bersambung)
Stanislaus (topi hitam) dan Hasrun peternak lebah trigona di Hutan Pendidikan Unhas tengah memeriksa pakan tambahan lebah. Foto: Eko Rusdianto
Stanislaus (topi hitam) dan Hasrun peternak lebah trigona di Hutan Pendidikan Unhas tengah memeriksa pakan tambahan lebah. Foto: Eko Rusdianto

Nasib Ie Unoe dari Bulohseuma

Seorang warga menaikkan sepeda motor ke  rakit, yang menjadi salah satu alat penghubung antara kampung di Bulohseuma. Foto: Chik Rini
Seorang warga menaikkan sepeda motor ke rakit, yang menjadi salah satu alat penghubung antara kampung di Bulohseuma. Foto: Chik Rini
Bagi hampir seribu orang Bulohseuma, tanah rawa tempat mereka tinggal  adalah warisan endatu (nenek moyang) yang tidak akan mereka tinggalkan sampai kapanpun. Orang Bulohseuma terbiasa hidup di sekitar hutan lebat, beratus tahun terisolir tanpa jalan dan tak punya listrik. Mereka mengandalkan kapal boat kecil untuk membawa barang dari luar melalui lautan Samudra Hindia berombak besar.
Setahun lalu, mereka merasa menjadi orang merdeka karena jalan bisa dibuka menembus hutan Suaka Margasatwa Rawa Singkil. Jalan itu dibangun setelah 2009 mendapat izin dari Menteri Kehutanan.
Bulohseuma adalah enclave, pemukiman di tengah hutan konservasi SM Rawa Singkil, salah satu hutan rawa gambut terbesar di Aceh seluas 100 ribu hektar. Ia menjadi bagian Kawasan Ekosistem Leuser yang terkenal kaya flora dan fauna. Bulohseuma berada di Kecamatan Trumon, Kabupaten Aceh Selatan.
Bulohseuma ditemukan pertama kali tahun 1768 oleh Teungku Yasin dan 12 pengikut dari Kerajaan Aceh yang sedang mencari ikan.  Tahun 1805, Bulohseuma sempat menjadi sentra lada. Penduduk ramai mendiami delapan kampung. Pada 1925 buaya mengganas di Bulohseuma, membuat sebagian orang eksodus ke daerah lain. Kini, tersisa tiga kampung yakni Raket, Kuta Padang dan Teungoh.
“Kami tidak akan meninggalkan Bulohseuma karena disini kuburan kakek nenek kami,” kata Zainal, pejabat sekretaris Desa Kampung Teungoh.
Saya berkunjung ke Bulohseuma pada 16 Juni 2014 melalui jalan yang baru dibuka pemerintah. Kondisi belum begitu baik. Badan jalan belum padat, banyak lumpur dan air rawa menggenang. Mobil pickup berkali-kali harus didorong karena terjebak dalam tanah gambut lembek. Jarak 16 kilometer  antara Teupin Tinggi-Bulohseuma, harus ditempuh hampir tiga jam.
Hutan rawa gambut di sekitar Bulohseuma kaya keragaman hayati. Memasuki daerah ini, disambut suara kicauan burung, deburan ombak di kejauhan dan desiran angin di sela pohon-pohon bak rubek (pohon tualang). Ini pohon berukuran raksasa tempat unoe itam bersarang. Unoe itam dalam bahasa Aceh berarti lebah madu.
Bak rubek (pohon tualang) tempat unoe itam (lebah) bersarang. Ratusan ton ie unoe (madu) dipanen warga Bulohseuma sebagai manfaat mereka menjaga hutan. Foto: Chik Rini
Bak rubek (pohon tualang) tempat unoe itam (lebah) bersarang. Ratusan ton ie unoe (madu) dipanen warga Bulohseuma sebagai manfaat mereka menjaga hutan. Foto: Chik Rini
Ie unoe hasil alam utama dari Bulohseuma. Setiap musim panen raya Agustus atau September, 600 ton madu hutan alami dipanen masyarakat.  “Ie Unoe menjadi alasan utama kami menjaga hutan. Kami tidak akan merusak alam yang memberi kami kehidupan.”
Selain madu, hutan juga memberikan penghasilan lain seperti lele rawa dan gabus yang bernilai ekonomi tinggi. Untuk membuat lele tetap ada sepanjang tahun, sejak dulu warga Bulohseuma wajib menanam Bak Nga, pohon berakar serabut bisa menjadi tempat ikan bertelur.
“Nenek kami mewajibkan menanam batang rambung (karet), karena untuk bahan bakar lampu.”
Pohon-pohon yang ditanam sejak dulu menjadi bukti kepemilikan hutan adat yang menjadi hak kelola masyarakat Bulohseuma. Meski berada di tempat terpencil, masyarakat Bulohseuma yakin mereka tidak akan kelaparan. Mereka bisa bertahan hidup dengan hasil hutan. Ada durian sepanjang tahun berbuah, ada palem hutan menghasilkan sagu.
Rawa Singkil, masih menyimpan banyak misteri bagi orang Bulohseuma. Tak semua orang di sana bisa menembus daerah paling gelap dan paling bergambut dalam. Hutan sebagian besar tergenang air hitam sepanjang tahun.  “Daerah itu ada dekat Kuala Baru, Aceh Singkil,” ucap Zainal.
Daerah bergambut dalam ini sebagian besar nyaris tak pernah disentuh manusia. Pohon-pohon besar dan pohon palem tumbuh rapat. Misteri Rawa Singkil ada di sebagian besar cerita-cerita menakutkan yang pernah terjadi di Bulohseuma. Banyak ditemukan buaya besar ganas dan ular piton besar.
Di antara banyak hal-hal menakutkan, Rawa Singkil merupakan kawasan padat populasi orangutan. Secara menakjubkan, 46% dari spesies burung di Sumatera ditemukan di sini.  Beberapa jenis burung langka berdiam di kawasan ini dalam jumlah besar seperti bangau stormi (Ciconia stormi), mentok rimba (Cairina scetulata), sejenis elang (Ichthyophaga ichtyaetus)  and the masked finfoot (Heliopais personata).
Rawa Singkil dikenal sebagai “paru-paru” Leuser karena hutan dan gambut mengkonversi karbon dioksida menjadi oksigen untuk pernafasan. Gambut tebal telah menahan berjuta galon air dan menghalangi intrusi air laut masuk ke kawasan itu. Orang-orang di sekitar rawapun bisa mendapatkan air tawar untuk diminum.
Namun, Singkil kini terancam pembukaan perkebunan sawit. Di Bulohseuma, di sepanjang jalan baru dibuka pemerintah, sejumlah warga menebangi hutan dan menanam dengan sawit.
Zainal mengakui, madu mulai berkurang dari tahun ke tahun. Bahkan ada Bak Rubek tak mau lagi didatangi lebah untuk bersarang. “Hutan mulai ada yang rusak. Itu berpengaruh dengan ie unoe yang mulai berkurang.”
Untuk menyelamatkan madu, masyarakat Bulohseuma meperkuat penerapan hukum adat dalam melindungi hutan tempat Bak Rubek hidup. Masyarakat dilarang membuka hutan dan menebang pohon dalam radius dua kilometer dari Bak Rubek. “Yang melanggar dikenai sanksi adat yakni membuat satu hidangan nasi pulut bersama satu kambing dan bumbu. Lalu membuat peusijuk (kenduri adat),” kata Mansurdin, tokoh masyarakat Bulohseuma.
Dengan cara ini, warga Bulohseuma berharap mereka masih dapat menikmati panen madu yang menjadi sumber utama penghasilan hidup.
Air rawa berwarna hitam pekat menggenangi hutan Rawa Singkil di dekat Bulohseuma. Foto: Chik Rini
Air rawa berwarna hitam pekat menggenangi hutan Rawa Singkil di dekat Bulohseuma. Foto: Chik Rini
Sebuah mobil angkutan umum melintasi genangan air rawa di jalan menuju ke Bulohseuma, Aceh Selatan. Jalan yang menembus hutan Suaka Margasatwa Rawa Singkil ini dibuka untuk membuka keterisoliran warga Bulohseuma selama bertahun-tahun. Foto: Chik Rini
Sebuah mobil angkutan umum melintasi genangan air rawa di jalan menuju ke Bulohseuma, Aceh Selatan. Jalan yang menembus hutan Suaka Margasatwa Rawa Singkil ini dibuka untuk membuka keterisoliran warga Bulohseuma selama bertahun-tahun. Foto: Chik Rini

“Madu Alam” dari Hutan Desa di Bantaeng

Salah satu usaha yang dikelola warga di Hutan Desa Labbo adalah peternakan lebah. Mereka biasa panen dua kali dalam setahun, dengan hasil panen untuk setiap petani berkisar antara 10-20 kotak atau 40-80 botol. Foto: Wahyu Chandra
Salah satu usaha yang dikelola warga di Hutan Desa Labbo adalah peternakan lebah. Mereka biasa panen dua kali dalam setahun, dengan hasil panen untuk setiap petani berkisar antara 10-20 kotak atau 40-80 botol. Foto: Wahyu Chandra
Namanya Desa Labbo. Ia ada di Kecamatan Tompobulu, Kabupaten Bantaeng, Sulawesi Selatan (Sulsel). Desa ini merupakan bagian dari hutan desa dengan kekayaan alam, madu,  yang menjadi mata pencarian andalan warga. Warga juga mengembangkan dan menjual bibit-bibit tanaman.  Dengan produksi madu dan bibit tanaman ini, masyarakat Desa Labbo, bisa menikmati ‘madu alam’ dari mengelola hutan sendiri.
Amiruddin, peternak madu menceritakan, kalau madu di hutan itu panen tiap enam bulan sekali. Sekali panen, dia bisa memperoleh puluhan botol madu asli. “Hasilnya cukup menutupi kebutuhan hidup sehari-harilah,” katanya pertengahan November 2013.
Saat ini, ada lima kelompok peternak madu di Desa Labbo. Setiap kelompok biasa terdiri 20–30 orang. Masa panen dua kali setahun, dengan produk 10-20 kotak per peternak, atau sekitar 40-80 botol.
Madu ini dijual  ke Ketua Badan Usaha Milik Desa (Bumdes)  dengan harga berkisar Rp75.000–Rp100 ribu per botol.“Kami sedang mengupayakan izin dari Dinas Kesehatan dan mengemas lebih baik,” kata Jamil, Ketua Bumdes Ganting Desa Labbo.
Tak hanya madu. Di halaman rumah warga berjejer puluhan polibeg bibit cengkih dan sejumlah tanaman perkebunan lain. Selain ditanam sendiri,  bibit ini kadang diperjualbelikan. Harga bibit cengkih Rp10.000 per pohon.
Ini hanya sebagian kecil dari cerita pengelolaan hutan desa oleh warga Desa Labbo. Hutan Desa Labbo , merupakan salah satu pengelolaan hutan berbasis masyarakat. Ia dikelola swadaya warga difasilitasi pemerintah. Pengelolaan oleh Bumdes, dengan komisaris otomatis dijabat kepala desa setempat. “Prinsipnya bagaimana hutan bisa terkelola baik dengan memanfaatkan hasil hutan tanpa merusak eksosistem di dalamnya,” kata Aris, Direktur LSM Balang, yang selama ini mendampingi masyarakat sekitar hutan di Kabupaten Bantaeng.
Asaduddin Rakhman, Kepala Dinas Kehutanan Bantaeng, mengatakan, keberadaan hutan desa selama ini bisa menjadi solusi degradasi hutan tanpa harus berkonflik dengan masyarakat, khusus di Kabupaten Bantaeng.
Menurut dia, saat ini, sekitar 54,4 persen lahan hutan di Bantaeng dalam kondisi kritis, sebagian besar karena konversi lahan menjadi perkebunan dan pertanian. “Ini diharapkan jadi solusi. Melalui upaya konservasi partisipatif dalam skema hutan desa.”
Kabupaten Bantaeng, temasuk daerah di Indonesia yang pertama kali merespon keberadaan skema hutan desa pada 2009. “Di saat launching program Januari 2009, kami langsung menggandeng berbagai pihak untuk terlibat, antara lain Fakultas Kehutanan Universitas Hasanuddin dan RECOFTC.”
RECOFTC (The Center for People and Forests) adalah organisasi nirlaba internasional yang memiliki kekhususan pada peningkatan kapasitas kehutanan masyarakat dan pengelolaan hutan di Kawasan Asia-Pasifik. RECOFTC langsung terlibat di Indonesia sejak 1998 dan melatih lebih dari 300 alumni dari pemerintah dan organisasi masyarakat sipil. Pada 2010, RECOFTC secara formal berkantor di Bogor di Pusdiklat Kehutanan.
Pemkab Bantaeng juga memberikan dukungan kebijakan melalui Peraturan Bupati No. 03 Tahun 2010 tentang Hutan desa, membentuk Bumdes di daerah sasaran disertai modal awal Rp100 juta.
Sebagian besar warga di Desa Labbo melakukan usaha pembibitan tanaman di halaman rumah. Foto: Wahyu Chandra
Sebagian besar warga di Desa Labbo melakukan usaha pembibitan tanaman di halaman rumah. Foto: Wahyu Chandra
Kawasan hutan di Bantaeng yang ditetapkan Menteri Kehutanan sebagai hutan desa pada 2010 seluas 704 hektar, terletak antara lain di Desa Labbo, Pattaneteang dan Campaga. Di tahun sama, terbit pula izin pengelolaan dari Gubernur Sulsel.
Keberhasilan pengelolaan hutan melalui hutan desa di Desa Labbo dan dua desa lain mendorong desa-desa di Kabupaten Bantaeng, seperti Desa Bonto Karaeng, Bonto Tangnga, Bonto Marannu, Bonto Daeng, Bonto Lojong, Pa’bumbungan,  mengusulkan hutan desa kepada bupati.
Pada 2011, usulan telah diverifikasi Kementerian Kehutanan. “Hingga saat ini tinggal menunggu penetapan dari Menteri Kehutanan,” ucap Asaduddin.
Luas hutan di Kabupaten Bantaeng, cukup besar, sekitar 6.222 hektar atau 15,16 persen dari total kabupaten, seluas 39.583 hektar. Ini terdiri dari hutan lindung 2.773 hektar (44,6%), hutan produksi terbatas 1.262 hektar dan hutan produksi biasa 2.187 hektar.
Menurut Asaduddin, hal penting dari pengelolaan hutan berbasis masyarakat ini adalah perubahan paradigma pemerintah, khusus Dinas Kehutanan terkait pengawasan hutan. “Mulai 2013, kami melakukan restrukturisasi kelembagaan kehutanan dengan menempatkan masing-masing satu orang tenaga teknis kehutanan di setiap kawasan hutan.”
Begitu juga dengan polisi hutan, jika selama ini mereka bertugas menjaga hutan, sekarang lebih pada upaya pelayanan dan turut membantu warga mengelola hutan.
I Nyoman Pujawan, Kepala Seksi Kelembagaan Daerah Aliran  Sungai (DAS) BP DAS Sulsel, menilai,  penerapan hutan desa penting dalam menjaga kelestarian hutan. “Tanpa harus mengabaikan masyarakat yang hidup dan tinggal di dalamnya.” Prinsipnya, tidak mengubah status dan fungsi kawasan hutan dan ada keterkaitan masyarakat terhadap sumber daya hutan.
Aloysius Suratin, Wakil Direktur Oxfam Indonesia menambahkan, pengelolaan hutan berbasis masyarakat opsi mengurangi kemiskinan, mencegah laju deforestasi hutan serta mendorong pengelolaan hutan berkelanjutan. Apalagi, masyarakat di sekitar dan bergantung pada hutan saat ini sekitar 48,8 juta jiwa, sebanyak 10,2 juta jiwa dalam kondisi miskin.

Hutan Jadi Sawit, Orangutan Panen Tikung Petani Madu Kapuas Hulu

Hutan tempat hidup orangutan telah berubah jadi kebun sawit, tek pelak perubahan pola hidup orangutan terjadi. Dalam lima tahun terakhir, setiap Desember-Januari, memasuki panen madu, mereka turun mencari makan dengan mengambil tikung buatan petani. Yohanes/WWF-Indonesia Panda Click Yohanes
Hutan tempat hidup orangutan telah berubah jadi kebun sawit, tek pelak perubahan pola hidup orangutan terjadi. Dalam lima tahun terakhir, setiap Desember-Januari, memasuki panen madu, mereka turun mencari makan dengan mengambil tikung buatan petani. Yohanes/WWF-Indonesia Panda Click
Petani madu di Desa Ujungpandang dan Kapuas Raya, Kecamatan Bunut Hilir, Kabupaten Kapuas Hulu, Kalimantan Barat (Kalbar), resah. Setiap menjelang panen madu tiba, orangutan di sekitar desa mulai turun dari perbukitan, dan masuk ke danau. Mereka merusak tikung atau tempat lebah bersarang buatan petani.
Perilaku orangutan ini diduga kuat karena habitat Pongo pygmaeus-pygmaeus itu sudah tergerus perkebunan sawit. Citraland satelit menunjukkan, perkebunan sawit skala besar yang sudah beroperasi di sekitar Kecamatan Bunut Hilir adalah PT Bumi Tani Jaya dan PT Borneo Estate Sejahtera.
Saat ini, petani bersiap memanen madu. Namun gangguan orangutan membuat panen terancam gagal. “Kami hanya perlu perhatian pemerintah bagaimana mengatasi persoalan ini agar petani tak melulu dirugikan,” kata Mas’ud, Kepala Dusun Kubu, Desa Ujungpandang, ketika dikonfirmasi dari Pontianak, Rabu (30/10/13).
Dia mengatakan, orangutan tahu musim panen madu jatuh pada Desember hingga Januari setiap tahun. Si Pongo itu turun dari bukit dan masuk ke Danau Miuban, tempat para petani memasang tikung. Fenomena ini sudah terjadi sejak lima tahun terakhir, pasca-perkebunan sawit masuk ke wilayah itu.
Danau Miuban merupakan hamparan luas tempat petani madu Desa Ujungpandang dan Kapuas Raya memasang tikung. “Memang, kami tidak mendata jumlah kerusakan tikung. Yang pasti, dari enam pemilik tikung, pasti ada yang dimakan orangutan setiap hari,” kata Mas’ud.
Menurut dia, dalam banyak hal orangutan sangat pandai. Satwa ini tahu kapan waktu pas turun dari perbukitan dan masuk ke kawasan danau mencari madu. Bahkan, orangutan tahu madu berkualitas. Si Pongo hanya makan inti madu. Keadaan ini menyebabkan kerugian besar bagi petani.
Sisi lain, warga masih sangat awam soal penanganan orangutan. “Di sini warga belum sepenuhnya paham soal hukum, kecuali hukum rimba. Jadi mereka tak pernah pikir panjang. Maunya orangutan itu dimusnahkan karena dianggap hama. Kami sudah coba mengusir dengan meriam karbit dan pengasapan. Tapi tak mempan.”
Mas’ud berharap, orangutan itu tidak lagi mengganggu tikung petani. Upaya ini sudah diutarakan Mas’ud dalam ajang pertemuan tahunan antara Dinas Kehutanan Kapuas Hulu dengan petani madu di Putussibau. “Masalah dengan orangutan ini sudah saya sampaikan tapi tak ditanggapi serius.”
Guna menekan laju kematian orangutan seperti terjadi dua tahun terakhir di Wajok dan Peniraman, Kabupaten Pontianak, Siti Chadidjah Kaniawati Kepala Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Kalbar,  segera mengambil langkah taktis. Dia menurunkan tim dari Seksi Konservasi Wilayah II Sintang. “Saya sudah koordinasikan dengan Kepala Seksi Sintang dan staf setempat agar persoalan ini diatasi secepat mungkin. Setidaknya tim segera cek lokasi kejadian konflik dan melakukan tindakan semestinya.”
Tikung atau sarang lebah buatan petani yang kerab dirusak orangutan. Mereka mengambil inti madu untuk dimakan. Foto: Edhu/WWF-Indonesia Panda Click
Tikung atau sarang lebah buatan petani yang kerab dirusak orangutan. Mereka mengambil inti madu untuk dimakan. Foto: Edhu/WWF-Indonesia Panda Click
Perkebunan di sekitar Kecamatan Bunut Hilir, Kapuas Hulu, yang berada di dekat hutan madu warga. Foto: Kementerian Kehutanan
Perkebunan di sekitar Kecamatan Bunut Hilir, Kapuas Hulu, yang berada di dekat hutan madu warga. Foto: Kementerian Kehutanan

Perubahan Iklim, Lebah Madu Hengkang dari Sentarum

KURUN waktu tiga tahun terakhir, petani madu hutan yang tergabung dalam Asosiasi Periau Danau Sentarum (APDS) gagal panen. Iklim tak menentu, berdampak kuat pada keseimbangan ekologi dan memicu lebah madu hutan (Apis dorsata) hengkang dari kawasan Taman Nasional Danau Sentarum (TNDS), Kabupaten Kapuas Hulu, Kalimantan Barat (Kalbar).
“Ini sudah tahun ketiga kami gagal panen. Lebah-lebah madu tak pernah datang lagi karena pakan tidak ada. Kemungkinan dipengaruhi pergantian musim yang tak tentu. Tahun ini, kemarau dan hujan datang sampai tiga kali,” kata Suharjo, warga Semangit, Desa Leboyan, Kecamatan Selimbau, Kapuas Hulu, Selasa(9/10/2012).
Jenis bunga yang menjadi pakan lebah hutan ini dari berbagai tumbuhan liar di kawasan TNDS. Dia mencontohkan, bunga penghasil madu adalah tembesu(Fragrarea fragrans), putat (Baringtonia acutangula), masong (Syzygium cauliflora), samak (Syzygium sp). Lalu, kayu taun (Carallia bracteata), akar libang(Monocarpus sp), merbemban (Xanthophyllum sp), kawi (Shorea belangeran) dan menungau (Vatica menungau).
Perubahan iklim global ini secara langsung memengaruhi siklus hidup lebah-lebah madu hutan. Lebah madu menghilang di musim kemarau lantaran asap dari kebakaran hutan. Di musim hujan, tikung-tikung tempat lebah bersarang sudah telanjur terendam banjir. Suharjo kehilangan satu sisi mata pencarian. Biasa, musim panen datang pada Januari, Maret, dan Desember. “Musim seperti ini, saya hanya menggantungkan hidup dari budidaya toman dan ikan-ikan air tawar lain di sekitar danau.”
Kawasan Taman Nasional Danau Sentarum di Kapuas Hulu, Kalimantan Barat. Foto: Andi Fachrizal
Setiap Oktober tiba, para petani madu seharusnya sudah membersihkan tikung-tikung. Sebulan kemudian, lebah-lebah akan datang membuat sarang pada tikung. Barulah, Desember hingga Januari, petani memasuki musim panen madu.
Pendamping petani madu, Thomas Irawan Sihombing mengatakan, akibat iklim yang tidak menentu, petani madu rugi besar. “Beruntung karena mata pencarian utama para petani madu itu nelayan. Madu hutan hanya penghasilan tambahan.”
Sejak 2007,  APDS berhasil menerapkan Sistem Pengawasan Mutu Internal (SPMI) bagi produsen kelompok kecil usaha madu hutan. Tujuannya, agar sertifikat organik dapat diraih sekaligus menjamin sekitar 4,3 ton madu hutan yang diproduksi itu organis.
Kini, sekitar 150 orang petani yang menjadi anggota APDS tidak lagi bisa bercerita hasil. Yang ada hanya menggantungkan harapan agar lebah-lebah kembali dan menciptakan sarang di tikung-tikung petani.
Kurun 2008-2009, panen madu hutan mencapai 16,5 ton, 10 ton dijual ke Dian Niaga Jakarta. Sisanya, ke Riak Bumi, dengan total omzet Rp517 juta.
Irawan berharap, dari 33 periau yang terbentuk, akan menghasilkan produk madu hutan hingga 30 ton, dengan perkiraan omzet Rp4 miliar.  Nilai ekonomis yang tidak kecil dan diperoleh dari proses pembangunan berkelanjutan.
Focal Point Kalimantan, Koalisi Rakyat untuk Kedaulatan Pangan (KRKP), Lorens, membenarkan ikhwal kegagalan panen para periau (petani madu) di TNDS. “Tikungnya tidak dihinggapi lebah.”
Kondisi ini belum disertai aksi nyata dari pemerintah, terutama proses mitigasi dan adaptasi perubahan iklim. “Pemerintah masih fokus upaya memadamkan api kebakaran lahan. Belum ada intensif penyadaran dan mendorong inovasi sumber penghidupan bagi masyarakat.”

Perkampungan penduduk di kawasan Danau Sentarum. Foto: Andi Fachriza

1 komentar:

  1. selamat sore, saya mau tanya nih...
    apakah ada analisa biayanya untuk usaha ternak lebah trigona ini? siapa tahu bisa membantu kami-kami yang masih awam dalam dunia perlebahan. Terima kasih.

    BalasHapus